Gunung Panderman
Merasa terhipnotis oleh pesona G.Bromo yang telah saya
taklukkan sekitar 2 minggu yang lalu, maka saya tidak perlu untuk pikir panjang
lagi ketika teman saya, Arvi (belakangan saya ketahui nama rimbanya adalah
“Mendol"), menantang saya untuk mendaki G.Panderman bergabung bersama “Kamapala
Bunglon”. Sebenarnya, dia telah mengajak saya pada pendakiannya yang pertama,
karena berhubung waktu itu kondisi saya benar-benar K.O (setelah pulang dari
G.Bromo), maka saya putuskan untuk ikut pada pendakian selanjutnya. Jujur, ini
adalah pendakian pertama kali saya. Sewaktu ke G.Bromo kemarin, menurut saya
itu bukan pendakian, karena kita menggunakan sepeda motor. Hohoho. Ditambah
lagi pernyataan Arvi kalau G.Panderman itu tempatnya para Hiker kopdar (saking
cintanya sama gunung), maka dalam benak saya waktu itu saya akan mudah
menaklukkan gunung ini (optimis cuuuyyy)
Siang itu …
Semua peserta yang jumlahnya sekitar 14 orang telah
berkumpul di Basecamp Bunglon di lantai III kampus. Setelah packing selesai,
tepat pukul 12.30 kita semua berangkat. Rute kita adalah: dari kampus naik
Angkot LDG – turun di terminal Landungsari – naik bus jurusan Kediri – dan
turun di Desa Srebet.
Sebelum melanjutkan jalan kaki menuju pos izin, kami
mempersiapkan logistik. Jangan khawatir, karena di sini tersedia minimarket,
jadi kita tidak perlu repot bawa bekal banyak dari rumah. Perjalanan menuju pos
izin lumayan berat. Meskipun jalan beraspal, tetapi agak menanjak. Apalagi
waktu itu jam menunjukkan pukul 14.00 sementara mentari bersinar dengan
ganasnya. Setengah perjalanan, kami ditawari tumpangan menggunakan mobil pick
up, tapi tekad kita bulat untuk jalan kaki, maka kami tolak dengan sopan
(selain itu alasannya karena takut harus bayar, hehe)
Satu jam perjalanan, kami nyampai di pos izin. Jangan
bayangkan pos ini dijaga oleh petugas yang lengkap dengan atributnya, sebaliknya pos izin ini merupakan rumah penduduk, dan kita akan bertemu dengan
seorang kakek, setelah itu kita cukup mengisi daftar pendaki. Di pos ini kami
sempat bertemu dengan pendaki dari Jombang.
Setelah beristirahat sejenak, pukul 15.30 kami melanjutkan perjalanan. Kira2 500 meter, kami bertemu sumber air pegunungan. Sedikit tips, sebisa mungkin kita persiapkan botol kosong saja, agar tidak terlalu membebani ketika berangkat dari rumah.. Airnya jernih kok. Hehehe. Malah menurut saya pribadi, airnya lebih segar dibandingkan air yang saya beli sebelum berangkat tadi.
Setelah beristirahat sejenak, pukul 15.30 kami melanjutkan perjalanan. Kira2 500 meter, kami bertemu sumber air pegunungan. Sedikit tips, sebisa mungkin kita persiapkan botol kosong saja, agar tidak terlalu membebani ketika berangkat dari rumah.. Airnya jernih kok. Hehehe. Malah menurut saya pribadi, airnya lebih segar dibandingkan air yang saya beli sebelum berangkat tadi.
Medan di G.Panderman bervariasi, mulai dari jalan setapak,
kerikil, jalan tanah, sampai bebatuan. Banyak jalur yang bisa ditempuh untuk
menuju puncak. Disarankan agar kita berangkat bersama dengan orang yang hafal
dengan rutenya (disini tidak tersedia guide). Sangat berbahaya jika kita salah
jalur, bisa-bisa kita nyasar ke gunung yang lain, karena gunung di sini banyak.
Awal perjalanan ini, medan yang ditempuh relatif mudah.
Tidak terlalu curam dan sedikit tanjakan. Setelah satu jam, kami tiba di “Latar
Ombo” pada ketinggian 1604 mdpl. Ini adalah teras pertama, datar, dan sering
digunakan bagi mereka yang kemalaman untuk ngecamp. Di sini kami bertemu dengan
pendaki dari Jombang tadi. Kami agak kaget, padahal kami start lebih dahulu
dari mereka. Ternyata mereka mengambil jalan pintas yang agak ekstrim.
Begitulah, banyak jalan menuju Roma (lho kok Roma?) eh, puncak maksudnya. :-p
Puncak G.Paderman berada 2000 mdpl. Dalam benak kami, hanya 400 meter lagi kami akan sampai. Semangat kembali membara. Capek hilang. Tidak sabar untuk sampai ke puncak. Namun, ternyata sebaliknya. Latar Ombo adalah awal dari perjuangan yang sesungguhnya. Medan untuk mencapai puncak semakin berat. Jalur yang dilalui adalah bebatuan dengan kemiringan kurang lebih 50 derajat. Di sini tali ransel saya putus karena di dalamnya terdapat 3 buah botol air minum. Terpaksa botol tersebut saya bagikan ke teman2 yang lain.
Puncak G.Paderman berada 2000 mdpl. Dalam benak kami, hanya 400 meter lagi kami akan sampai. Semangat kembali membara. Capek hilang. Tidak sabar untuk sampai ke puncak. Namun, ternyata sebaliknya. Latar Ombo adalah awal dari perjuangan yang sesungguhnya. Medan untuk mencapai puncak semakin berat. Jalur yang dilalui adalah bebatuan dengan kemiringan kurang lebih 50 derajat. Di sini tali ransel saya putus karena di dalamnya terdapat 3 buah botol air minum. Terpaksa botol tersebut saya bagikan ke teman2 yang lain.
Musibah ransel yang putus, tidak menjadi beban pikiran,
ketika saya melihat pemandangan sunset yang indah. Meskipun tidak ada spot yang
clear, banyak ranting2 pohon yang menjuntai malah sebaliknya membuat suasana
lebih eksotis.
Hari semakin gelap. Puncak tak kunjung sampai. Sampai pada
akhirnya kami tiba di teras ke dua. Berhenti sejenak untuk menunggu kelompok ke
dua. Memang saya termasuk kelompok terdepan bersama 3 orang lainnya, termasuk
leader kami, Arvi.
Setelah semuanya kumpul di teras tadi, kami, kelompok
pertama melanjutkan perjalanan. Rute tambah berat. Tidak lagi bebatuan, hanya
tanah dan ilalang. Sebelah kiri blank (menurut Dani). Di tambah lagi saya tidak
memakai head light (belum punya, he). Jadilah saya hanya mengandalkan sinar
head light dari leader di depan saya. Saya sedikit merangkak, karena takut
tergelincir. Untuk tidak turun hujan.
Akhirnya…
Akhirnya…
Pukul 18.43 (saya lihat di data exif foto), kami tiba di
puncak. Ternyata sudah banyak pendaki yang tiba di sana. Tidak lama kemudian
kelompok ke dua juga tiba. Kami semua bagi tugas untuk menyiapkan tenda dan
makan malam. Setengah jam kemudian semua beres. Itulah arti sebuah kerjasama.
Pemandangan dari puncak sungguh luar biasa. Sebuah bulan
purnama mengasihi kami yang malam itu hanya menggunakan penerangan seadanya.
Sungguh sensasi yang luar biasa menyaksikan purnama dari atas puncak. Seakan
purnama berada sejengkal di atas kepala kita. Saya teringat lagu anak-anak.
(Ambilkan bulan bu, sya la laa laa). Di bawah sana, terhampar indahnya kota
batu di malam hari. Lampu-lampu berkelap-kelip. Benar2 seperti berada di syurga
dunia.
Tidak banyak yang kami lakukan malam itu. Setelah dinner, kami berkumpul untuk sharing. Rencananya akan ada renungan, tapi berhubung malam itu banyak pendaki di sebelah tenda kami, maka renungan ditiadakan. Bbbbbrrrrr….. Suhunya dingin banget coy. Sumpah, kali ini gua ga lebay. Kalo pengen tau rasanya, lo masuk aja ke dalam freezer, trus suruh orang lain ngunci lo di dalamnya.
Tidak banyak yang kami lakukan malam itu. Setelah dinner, kami berkumpul untuk sharing. Rencananya akan ada renungan, tapi berhubung malam itu banyak pendaki di sebelah tenda kami, maka renungan ditiadakan. Bbbbbrrrrr….. Suhunya dingin banget coy. Sumpah, kali ini gua ga lebay. Kalo pengen tau rasanya, lo masuk aja ke dalam freezer, trus suruh orang lain ngunci lo di dalamnya.
Malam itu saya tidak bisa tidur saking dinginnya. Saya
semakin tidak sabar untuk melihat sunrise. Saya coba jepret2 langitnya di
sekitar tenda. Kemudian saya diberitahu kalau di bawah ada spot buat liat
sunrise. Dan ternyata, di sini telah banyak orang yang ingin menanti mentari
pagi. Meskipun tidak seramai di G.Bromo, justru ini membuat kita lebih mudah
untuk ber-improvisasi karena tidak berdesakan. Langit jingga sungguh luar biasa
indahnya. Kita juga bisa menyaksikan puncak G.Arjuno yang tertutup oleh awan.
Puas jepret sana jepret sini, hari mulai siang. Kami bersiap
untuk pulang. Setelah masak dan makan, kami bersih2 areal camp. Sebagai
catatan, kita tidak diperkenankan untuk meninggal sampah dalam bentuk apapun.
Bawa kembali sampah kita ke bawah. Sebenarnya pagi itu kami sudah menyiapkan
sedikit makanan sisa. Karena biasanya rombongan kera akan mendatangi kita dan
minta jatah makan (maklum disana daerah kekuasaan mereka). Tapi pagi itu tak
ada satupun kera yang muncul
Perjalanan pulang agak sedikit mudah karena kita hanya turun. Tapi justru perjalanan ini yang membuat jantung saya berdegup kencang. Bagaimana tidak, disebelah kanan saya, tidak kurang dari 1 meter, jurang menganga dengan jelasnya. Jika malam sebelumnya jurang ini tidak terlalu jelas karena gelap. Medan yang curam juga sempat membuat saya merangkak, karena lagi-lagi takut tergelincir. Malah, ketika pulang ini jempol kaki saya agak sakit karena memakai sepatu. Jadi, disarankan jika turun gunung untuk memakai sendal saja. Selain medan turun, perjalanan pulang juga lumayan cepat karena kami melalui jalan pintas yang memang agak ekstrim jika kita naik melalui jalur ini.
Perjalanan pulang agak sedikit mudah karena kita hanya turun. Tapi justru perjalanan ini yang membuat jantung saya berdegup kencang. Bagaimana tidak, disebelah kanan saya, tidak kurang dari 1 meter, jurang menganga dengan jelasnya. Jika malam sebelumnya jurang ini tidak terlalu jelas karena gelap. Medan yang curam juga sempat membuat saya merangkak, karena lagi-lagi takut tergelincir. Malah, ketika pulang ini jempol kaki saya agak sakit karena memakai sepatu. Jadi, disarankan jika turun gunung untuk memakai sendal saja. Selain medan turun, perjalanan pulang juga lumayan cepat karena kami melalui jalan pintas yang memang agak ekstrim jika kita naik melalui jalur ini.
Pukul 10.00 kami tiba di pos izin. Istirahat sejenak. Dan
selanjutnya meneruskan perjalanan pulang menuju Kota Malang.
Terima kasih Kamapala Bunglon. Ini yang pertama, dan semoga
bukan yang terakhir.
Yang kita butuhkan untuk sampai ke PUNCAK adalah…..
…Tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya
…Mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya
…Leher yang akan lebih sering melihat ke atas
…Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja
…Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya
…Serta mulut yang akan selalu berdoa…
(’5 cm’ by Donny Dhirgantoro)
0 komentar:
Posting Komentar